Bismillahirrahmanirrahim
6 Maret 2012
Jika kita bisa memutar waktu dan memutuskan kembali ke masa lalu untuk berbohong, apakah kita masih akan disebut sebagai pendosa?
Sejak kecil saya selalu mendogma diri sendiri bahwa menelan pil pahit kejujuran itu akan selalu lebih baik daripada mendengarkan dusta yang manis. Pun begitu, dogma ini selalu saya keluarkan pada siapapun yang pernah mengenal dan berhubungan dengan saya. Entah sebagai rekan kerja, rekan kuliah, dan rekan-rekan yang lainnya. Saya tak ingin dibohongi, apapun itu. Titik.
Tapi semakin saya dewasa, dunia mengajarkan bahwa abu-abu bukanlah warna pilihan diantara hitam dan putih. Ia ada, menghuni ruangnya sendiri. Dan dunia, seringkali tak mengizinkan kita memilih warna lain.
"Jujur itu bukan berarti mengatakan semuanya, polos itu namanya" kata seseorang yang saya kenal.
Saya tidak berkomentar atas pernyataan itu. Menurut saya ada benarnya, toh kita tidak berbohong. Tapi kemudian saya teringat pada hari-hari ketika Mama menelpon dan bertanya sedang dimana. Secara naluriah, untuk menjaga agar ia tidak khawtir saya menjawab bahwa sedang 'berjalan-jalan' dengan teman-teman di daerah Cibodas. Kenyataanya saya memang di daerah Cibodas, kenyataannya saya sedang bersama teman-teman untuk jalan-jalan, tapi jalan-jalan ini sebenarnya adalah acara naik gunung dan CIbodas adalah salah satu titik yang harus kami laluil. Apakah ini berdusta? Apakah ini berdosa? Terkadang saya berpkir ini bukan dusta,ini hanyalah sebuah 'kejujuran-yang-tidak-utuh'. Tapi yang sesungguhnya,saya berpura-pura tidak-tahu bahwa Ibu saya mendapat informasi yang tidak bulat, yang tidak akurat. Dalam jurnalistik ini haram hukumnya karena membahayakan pengambilan keputusan orang lain. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, kita semua tau bahwa kita sering melakukannya. Yah, kadang-kadang, abu-abu itu tidak mudah di deskripsikan.
Ada pula suatu masa ketika saya benar-benar merasa nyaman, merasa tidak perlu ada yang ditakutkan, tak perlu takut dimarahi, dilarang, atau hal-hal lain yang mungkin terjadi jika itu berhadapan dengan orang tua. Ada suatu masa, ketika memiliki teman yang mampu membuatmu merasa sangat nyaman hingga kau bisa bercerita apa saja. Di titik ini, kadang saya merasa tak perlu merisaukan area abu-abu, karena itu tak pernah ada. Pada teman ini, saya katakan kejujuran yang sepolos-polosnya, sebulat-bulatnya. Awalnya mungkin tak ada masalah, tapi masing-masing dari kami tahu, bahwa hari ini tak pernah sama dengan kemarin. Menyakiti itu suatu keniscayaan yang membuat semua tak lagi sama. Hingga saya merasa, ia akan pergi jauh, entah kemana. Ya, terkadang rasa nyaman memang membuatmu lupa untuk melindungi diri sendiri, alih-alih orang lain.
Sekarang, seringkali saya dihadapkan pada ruang-ruang persidangan dimana saya menjadi tersangka. Terkadang saya berpikir, jika dulu saya berdusta saja dan mereka-reka alasan yang lebih membuatnya tidak sakit hati, seperti yang orang lain katakan padanya, akankah semua akan jadi sama? Jika kita bisa memutar waktu dan memutuskan kembali ke masa lalu untuk berbohong, apakah kita masih akan disebut sebagai pendosa? Sebagai tersangka?
Kita tak akan pernah tau. Tapi setidaknya itu mengajarkan pada saya, bahwa ada hal-hal yang lebih baik tidak dikatakan, ada kejujuran yang harusnya tidak diucapkan bulat-bulat. Karena menyakiti akan membuat hari ini tak akan pernah sama dengan kemarin.
Maaf.. untukmu seribu kalinya...
copied from facebook note: Choirunnisak Fauziati
< img border="0" src="http://www.mylivesignature.com/signatures/54490/68/FF1637998B72EE5DAD6EE28A0CF364EE.png" />