Bismillahirrahmanirrahim
05 Juni 2011

**Hari itu di pemakaman,**

siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat
yang kebanyakan berbaju hitam memadati lokasi pemakaman. Diantara begitu
banyak orang, perempuan cantik itu berdiri mengenakan pakaian dan
kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut wajah yang
tersaput kesedihan. Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah
dimasukkan ke liang lahat, perempuan itu mendekati jenazah yang
terbungkus kain kafan kemudian membisikkan kata-kata tak terdengar
dengan perasaan dan suasana yang sulit kulukiskan. Aku melihat keharuan
diantara para pelayat menyaksikan adegan itu. Perempuan itu adalah istri
dari laki-laki yang pada hari itu dikubur, kakak iparku, Zainab.


Setelah acara penguburan selesai satu persatu pelayat mengucapkan
kalimat duka cita kepada perempuan tersebut yang menyambut ucapan itu
dengan senyuman manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya,
seolah-olah pada saat yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa
bahagia. Kudekati kakak iparku. “Kak, yang sabar ya, insya Allah abang
diterima dengan baik di sisi-Nya,” ujarku perlahan. Dia menatapku dengan
senyuman tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat
ekspresinya. Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.


Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah kak Zainab.
Kudapati ia sedang mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering
dilakukannya.
Kusapa dia dengan wajar, “Assalaamu’alaikum, sedang sibuk, kak?” tanyaku
“Wa’alaikusallam… Oh adik, ayo duduk dulu,” jawabnya seraya membereskan
perlengkapan tanaman.
“Saya mengganggu kak?” tanyaku lagi,
“Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang merawat bunga agar dzikir
nanti malam tidak terganggu hal sepele sperti ini,” jawabnya.
Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami.
Dengan hati-hati kuajukan perasaan yang selama beberapa hari mengganjal
dihatiku. “Kak, apakah kakak tidak merasa sedih dengan kepergian abang?”
tanyaku.


Dia menatapku dan berkata, “Kenapa adik bertanya seperti itu?”
Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, “Karena
kakak justru terlihat bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat
pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata pada saat kepergian
abang,” ujarku.


Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang. “Apakah kesedihan selalu
berwujud air mata?”
Sebuah pertanyaan yang tidak sanggup kujawab.

Kemudian dia meneruskan kembali perkataanya. “Kami telah bersama sekian
lama, sebagai seorang perempuan aku sangat kehilangan laki-laki yang
kucintai, tapi aku juga seorang istri yang memiliki kewajiban terhadap
seorang suami. Dan kegoisanku sebagai seorang perempuan harus hilang
ketika berhadapan dengan tugasku sebagai seorang istri,” katanya tenang.
“Maksud kakak?” aku tambah penasaran.


Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga
berwujud senyum dan tawa.
Kakak sedih sebagai seorang perempuan tapi

bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki yang baik,
yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran.
Dia selalu mendidik kakak sepanjang hidupnya. Abang mengajarkan kakak
banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan sayang pada kakak setiap hari
bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang ketika kami tidak
saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata sayang pada kakak
dipakaian yang kakak gunakan. Ketika kakak bertanya kenapa? abang
menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak mengetahui bahwa abang
menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang ingin kakak tau bahwa ia
menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat sampai sekarang.
Perempuan mana yang tidak sedih kehilangan laki-laki yang begitu
menyayanginya? Tapi …”


Dia menghentikan kata-katanya.
“Tapi apa kak?” kejarku.
” Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis,” katanya tersenyum.
“Kenapa?” tanyaku tidak sabar.

Perlahan kulihat matanya menerawang.
“Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat
kakak sedih, sepanjang hidupnya dia bukan hanya laki-laki tapi juga
seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak bersedih,
tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka
melihat hamba yang cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa
ditangisi.” Perempuan itu melanjutkan, “pada satu malam setelah kami
sholat malam berjamaah, abang menangis, tangis yang tidak pernah kakak
lupakan, abang berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di antara kami
meninggal lebih dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena siapa
pun yang pergi akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang
istri, kakak wajib menuruti kata-kata abang.”



Pemakaman bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari
perjalanan, kematian adalah pintu gerbang dari keabadian.
Saat di dunia

ini kakak mencintai abang dan kita selalu ingin berada bersama dengan
orang yang kita cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu
abang lah yang pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk
menemui-Nya, abang selalu mengatakan bahwa baginya Allah SWT adalah sang Kekasih
dan abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat seorang
Kekasih memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia dengan
kepergiannya. Dalam syahadatnya abang tersenyum dan sungguh egois jika
kakak sedih melihat abang bahagia,” sambungnya.


Tanpa memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus
mengalir dari perempuan itu, *“Kakak bahagia melihat abang bahagia dan
kakak ingin pada saat terakhir kakak melihat abang, kakak ingin abang
tau bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat kakak mencintainya dan
berterima kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta
yang sangat berharga untuk kakak yaitu cinta pada Allah SWT.* Dulu abang
pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di dunia ini
kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak dan abang
akan bertemu dan bersama di akhirat nanti bahkan di surga selama kami
masih berada dalam jalan Allah. Dan abang telah memulai perjalanannya
dengan baik, doakanlah kakak ya dik semoga kakak bisa memulai perjalanan
itu dengan baik pula. Kakak sayang abang dan kakak ingin bertemu abang lagi.”

Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak
mampu berkata-kata lagi.
------
adapted : milis


Artikel Terkait: