Bekalku, sebuah tas kain abu-abu kusam berisi baju, sarung dan kopiah serta sebuah kardus mie berisi buku, kacang tojin dan sebungkus rendang kapau yang sudah kering kehitam-hitaman. Ini rendang spesial karena dimasak Amak yang lahir di Kapau, sebuah desa kecil di pinggir Bukittinggi. Kapau terkenal dengan masakan lezat yang berlinang-linang kuah santan.
Sebelum meninggalkan rumah, aku cium tangan Amak sambil minta doa dan minta ampun atas kesalahanku. Tangan kurus Amak mengusap kepalaku. Dari balik kacamatanya aku lihat cairan bening menggelayut di ujung matanya.
“Baik-baik di rantau urang, Nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama dengan berjuang di jalan Allah,” kata beliau. Wajahnya tampak ditegar-tegarkan.. Katanya, cinta ibu sepanjang hayat dan mungkin berpisah dengan anak bujangnya untuk bertahun-tahun bukan perkara gampang.. Sementara bagi aku sendiri, bukan perpisahan yang aku risaukan. Aku gelisah sendiri dengan keputusanku merantau muda ke Jawa.
Setelah merangkul Laili dan Safya, dua adikku yang masih di SD, aku berjalan tidak menoleh lagi. Kutinggalkan rumah kayu kontrakan kami di tengah hamparan sawah yang baru ditanami itu. Selamat tinggal Bayur, kampung kecil yang permai. Halaman depan kami Danau Maninjau yang berkilau-kilau, kebun belakang kami bukit hijau berbaris.
Bersama Ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang terkentut-kentut merayapi Kelok Ampek Puluah Ampek. Jalan mendaki dengan 44 kelok patah. Kawasan Danau Maninjau menyerupai kuali raksasa, dan kami sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar. Makin lama kami makin tinggi di atas Danau Maninjau. Dalam satu jam permukaan danau yang biru tenang itu menghilang dari pandangan mata. Berganti dengan horison yang didominasi dua puncak gunung yang gagah, Merapi yang kepundan aktifnya mengeluarkan asap dan Singgalang yang puncaknya dipeluk awan. Tujuan kami ke kaki Merapi, Kota Bukittinggi. Di kota sejuk ini kami berhenti di loket bus antar pulau, P.O. ANS. Dari Ayah aku tahu kalau PO itu kependekan dari perusahaan oto bus.
Kami naik bus ANS Super Executive Full AC dan Video. Kami duduk di kursi berbahan beludru merah yang empuk di baris ketiga dari depan. Aku meminta duduk di dekat jendela yang berkaca besar. Bus ini adalah kendaraan terbesar yang pernah aku naiki seumur hidup. Udara dipenuhi aroma pengharum ruangan yang disemprotkan dengan royal oleh stokar ke langit-langit dan kolong kursi. Berhadapan dengan pintu paling belakang ada WC kecil. Di belakang barisan kursi terakhir, langsung berbatasan dengan kaca belakang, ada sebidang tempat berukuran satu badan manusia dewasa, lengkap dengan sebuah bantal kumal dan selimut batang padi bergaris hitam putih. Kenek bilang ini kamar tidur pilot. Kata Ayah, setiap delapan jam, dua supir kami bergiliran mengambil waktu untuk tidur.
Tampak duduk dengan penuh otoritas di belakang setir, laki-laki legam, berperut tambun dan berkumis subur melintang. Kacamata hitam besarnya yang berpigura keemasan terpasang gagah, menutupi sebagian wajah yang berlubang-lubang seperti kena cacar. Dia mengenakan kemeja seragam hitam dan merah dipadu dengan celana jins. Di atas saku bajunya ada bordiran bertuliskan namanya, “Muncak”. Aku memanggilnya Pak Etek Muncak. Kebetulan dia adalah adik sepupu jauh Ayah.
Begitu mesin bus berderum, tangan kirinya yang dililit akar bahar menjangkau laci di atas kepalanya. Dia merogoh tumpukan kaset video beta berwarna merah. Hap, asal pegang, dia menarik sebuah kaset dan membenamkannya ke pemutar video. Sejenak terlihat pita-pita warna-warni berpijar-pijar di layar televisi, sebelum kemudian muncul judul film: Rambo: The First Blood Part II.
Aku bersorak dalam hati. Televisi berwarna adalah kemewahan di kampungku, apalagi pemutar video. Mungkin tontonan ini bisa sejenak menghibur hatiku yang gelisah merantau jauh. Bus melaju makin kencang. Sementara Rambo sibuk berkejar-kejaran dengan pasukan Vietnam.
“Selamat Jalan, Anda telah Meninggalkan Sumatera Barat” sebuah gapura berkelebat cepat. Bus kami menderum memasuki Jambi.
Tapi semakin jauh bus berlari, semakin gelisah hatiku. Jantungku berdetak aneh, menyadari aku sekarang benar-benar meninggalkan kampung halamanku. Bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ke Jawa ini keputusan yang paling tepat? Bagaimana kalau aku tidak betah di tempat asing? Bagaimana kalau pondok itu seperti penjara? Pertanyaan demi pertanyaan bergumpal-gumpal menyumbat kepalaku.